Minggu, 12 Mei 2013

Ferguson, Move On, dan Hal – Hal yang Harus Di Move On Kan

Ketika menyaksikan pertandingan Manchester United vs Swansea tadi malam, saya tidak lagi berekspektasi akan hasil akhir yang berpihak pada tim tuan rumah. Mungkin hal yang sama dirasakan oleh jutaan penggemar Manchester United (MU) yang tersebar di seluruh dunia. Kita semua sudah tahu bahwa hari ini adalah hari yang sangat emosional, karena Sir Alex Ferguson (SAF), Paul Scholes dan Albert Morgan (juru pakaian tim) memutuskan untuk mengambil pesangon lebih cepat dari yang dijadwalkan. Haru biru bercampur bangga terasa menyelimuti awan di atas stadion Old Trafford, Manchester. Sudah terlalu banyak artikel tentang pensiunnya SAF. Laman berita Inggris, Guardian mengumumkan mereka mendapati berita pensiunnya SAF membuat Guardian mengalami traffic tertinggi setelah kematian Paus Paulus. Ada yang menjabarkan dari sisi emosional, ada juga yang menjelaskan bagaimana perjalanan SAF menjadi juru taktik yang adaptif ketimbang menemukan racikan baru bagi MU selama hampir 26 tahun. Ada juga yang justru secara lantang mengemukakan ketidaksukaannya terhadap SAF, karena menganggap SAF lebih banyak mempromosikan ‘Fergie Time’, mind games, dsb. Tapi biarkan, haters will always be haters. Awalnya saya termasuk orang yang malah senang ketika SAF mengumumkan dirinya akan pensiun di akhir musim, karena saya memandang kebapukan permainan MU selama 2 musim terakhir merupakan tanggung jawab SAF sebagai pelatih, dan di usianya yang sudah menginjak 71 tahun rasanya waktu pensiun tidak ubahnya bom waktu yang siap meledak kapan saja, dan hanya Tuhan dan SAF yang tahu kapan ledakan tersebut akan terjadi. Tetapi, semalam ketika announcer stadion Old Trafford memberikan mic kepada SAF setelah berpelukan dengan satu persatu pemainnya, saya merasakan ada afeksi begitu dalam kepada kakek tua dari Govan ini. Saya belum pernah sekalipun bertemu dengannya secara langsung, dia bukan Nabi saya, dia juga tidak memiliki ikatan kekeluargaan dengan keluarga saya, tapi entah mengapa begitu ia melakukan salam perpisahan dengan publik Old Trafford dan seluruh pihak yang telah menyaksikannya berdiri di pinggir lapangan selama ia menjadi pelatih, mata saya mulai berkaca – kaca menghadap layar kaca. Perasaan senang ketika ia pensiun, justru berbalik menjadi perasaan sedih, sama sedihnya seperti anak yang tidak ingin ditinggal orang tuanya yang hendak pergi dinas keluar kota. Kemudian saya teringat idiom yang sering diucapkan ketika seseorang patah hati: “move on”. Ya, move on. Idiom ini sebenarnya bersifat universal, karena move on bukan hanya milik mereka yang patah hati, tetapi juga buat orang – orang yang terlalu lama terjebak dalam indahnya masa lalu. Sama halnya yang harus dilakukan MU, move on. Everton harus move on karena ditinggal David Moyes yang musim depan akan menggantikan SAF. Manchester City, Wigan, atau bahkan Chelsea juga harus bersiap – siap move on, karena pelatih mereka masa depannya sangat tidak menentu. Mungkin pemain atau suporter mereka tidak ingin move on, tetapi ketika direktur atau petinggi klub menginginkan hal yang demikian, tidak dapat lagi ditolak. Manchester City misalnya. Kekalahan mereka dari Wigan Athletic di final Piala FA, Sabtu kemarin semakin memperjelas sinyal kedatangan pelatih baru, seperti yang santer diberitakan, Manuel Pellegrini bersiap – siap menggantikannya. Tetapi tidak semua menyukai isu tersebut. Suporter Manchester City sejak awal peluit pertandingan kemarin dibunyikan, berkali – kali men-chants dukungan mereka terhadap Mancini. Mereka tidak ingin move on dari Mancini. Begitu juga yang terjadi pada Wigan Athletic. Usai mengalami keajaiban dengan menumbangkan Manchester City, suporter dan pemain mereka harap – harap cemas kepada Dave Whelan, presiden klub asal Lancashire itu, karena bukan rahasia pelatih mereka Roberto Martinez masuk radar untuk diproyeksikan menjadi pengganti David Moyes di Everton. Roberto Martinez begitu memesona hingga Everton sangat kepincut mendatangkannya. Wigan tidak ingin move on dari hari indah mereka saat memenangi Piala FA, Wigan juga tidak ingin move on dari Roberto Martinez. Sedangkan yang terjadi pada Chelsea juga tidak jauh berbeda. Suporter Chelsea begitu sayangnya kepada Jose Mourinho, sehingga nyaris setiap pertandingan mereka selalu mengelu-elukan namanya. Padahal ia telah meninggalkan Stamford Bridge hampir 6 tahun lalu. Siapapun pelatihnya, baik mereka suka (apalagi mereka tidak suka, seperti Rafa Benitez) harus rela memiliki perasaan seperti dimadu, karena Chelsea sulit move on dari pelatih banyak omong tapi kharismatik dari Portugal tersebut. Sulit move on. Move on bukanlah perkara mudah bagi orang – orang yang masa lalunya banyak diisi dengan kegemilangan dan kejayaan. Apalagi jika hubungan romantisme antara 2 pihak yang bermesraan telah terjadi selama bertahun – tahun, layaknya yang dialami MU dan Sir Alex Ferguson. Move on tidak pernah memberikan pilihan yang baik. Either kita terus mengingat – ingat masa lalu yang notabene sulit untuk terjadi lagi, atau menghadapi kenyataan bahwa kita tidak sedang menikmati masa – masa indah itu. Pilihannya adalah maju tetapi terasa sakit, atau tidak mengalami sakit tetapi tidak juga maju. Jadi harus bagaimana? Ya mau tidak mau harus move on. Layaknya pekerja dan pelajar yang harus move on dari hari libur ke hari kerja, mereka mau tidak mau harus menghadapi kenyataan mereka tidak lagi bermalas – malasan, they need to get back to business. MU harus move on, Everton harus move on, Manchester City, Wigan Athletic, Chelsea, harus bersiap – siap untuk move on. Sebenarnya move on adalah suatu hal yang biasa saja, no big deal (atau kita seharusnya menganggap demikian), karena move on hanya membutuhkan waktu dan proses yang sedikit lama. Indonesia misalnya, negara ini pernah dipaksa move on dari rezim Orde Baru ke era reformasi. Tetapi move on jenis seperti ini justru move on yang diharapkan, sama seperti hubungan yang sudah tidak kondusif, salah satu dari pasangan pasti akan merasa tidak nyaman dan mengajukan permintaan untuk berpisah. Hingga sekarang bangsa yang katanya besar ini bahkan masih sering terjebak dalam masa lalu, bangsa ini masih membutuhkan proses perubahan, bangsa ini harus tetap dan selalu move on. SAF adalah diktator. Bagaimana tidak, ia bisa menentukan berapa menit lagi pertandingan harus disudahi, ia sendiri juga yang menentukan kapan ia pensiun, bukan direktur ataupun ketentuan tertulis lainnya. Bertahun – tahun ia memerintah tidak hanya pemain, tetapi juga petinggi klub, masa jabatannya hanya berbeda 6 tahun dari lamanya Soeharto menduduki kursi presiden Indonesia. Fergie Association, begitulah asosiasi sepakbola Inggris sering disebut, karena keputusannya yang acapkali menguntungkan SAF, mereka dianggap menjadi kaki tangan SAF. Tetapi kediktatorannya justru membuat para fans seperti sedang terlelap dalam selimut tebal, dan tidak ingin dibangunkan dari lelapnya. Dibawahnya, MU meraih segala kejayaan. Kesengsaraan mereka hanya tidak lolos dari fase grup Liga Champions, atau ketika tidak juara lantaran selisih gol, selebihnya Anda tahu sendiri. Dan di penghujung kariernya, ia meletakkan jabatannya bukan lantaran kesehatannya tidak lagi memungkinkan, atau MU tidak lagi berprestasi, ia hanya ingin menemani istrinya, Cathy, karena kematian kakak sang istri membuat Cathy begitu kesepian. SAF tidak ingin berpisah dengan MU, tapi ia harus move on, begitu juga sebaliknya.

Selasa, 28 Februari 2012

Stuart Pearce Redemption


Piala Dunia 1990 yang dihelat di Italia barangkali menjadi salah satu gelaran yang paling ingin diingat sekaligus dilupakan jutaan rakyat negeri Ratu Elizabeth tersebut. Bagimana tidak, setelah 24 tahun lamanya tim nasional sepakbola Inggris akhirnya kembali mencapai babak 4 besar Piala Dunia alias semifinal. Melihat perjuangan Gary Lineker dkk meraih pencapaian tersebut serasa seperti menghilangkan dahaga yang mengendap sekian lama di tenggorokan pecinta sepakbola di Inggris.

Namun euforia itu harus kembali sirna saat Stuart Pearce dan Chris Waddle gagal menendang bola melewati kiper Jerman Barat kala itu, Bodo Illgner saat drama adu penalti harus dijalani Inggris dan rival lamanya, Jerman Barat di semifinal Piala Dunia 1990. Sebuah kekalahan yang meninggalkan raungan tangis dari pemain belia penuh bakat, Paul Gascoigne yang berhasil mengejutkan publik Italia dengan permainannya yang memukau sepanjang turnamen. Sebuah akhir dari perjalanan karier kiper legendaris Inggris, Peter Shilton yang memainkan turnamen terakhirnya di Piala Dunia 1990.

Publik Inggris kemudian mulai mengingat 2 nama dari peristiwa tersebut, Chris Waddle dan Stuart Pearce. Chris Waddle menjadi tersohor karena selain rambut mullet nya, ia juga gagal mengeksekusi penalti dalam drama adu penalti melawan Jerman Barat. Bersama dengan Chris Waddle, mencuat juga satu nama yang belakangan menjadi pembicaraan di dunia sepakbola internasional, yakni Stuart Pearce.

Bekas pembesut Manchester City itu ditunjuk FA sebagai pelatih sementara tim nasional Inggris untuk menghadapi laga persahabatan menghadapi Belanda (30/02). Selama bertahun - tahun ia dengan "betah"nya menjadi pelatih Inggris U-21. Tak heran, nama - nama yang matang saat tampil bersama tim junior seperti Micah Richards, Frazier Campbell, dan Daniel Sturridge diikutsertakan ke dalam gembong arahan pelatih yang terkenal dengan julukan "Psycho" ini. Ditinggalkannya nama lawas macam John Terry dan Rio Ferdinand menyiratkan bahwa Pearce sepenuhnya percaya pada kekuatan pemain mudanya. Bahkan, James Milner, yang notabene selama ini tidak pernah menjabat sebagai kapten tim senior, mendapati dirinya terkejut saat Pearce menjadikannya skipper tim Tiga Singa.

Sebenarnya pemilihan youngster yang dilakukan Stuart Pearce bukanlah hal yang baru. Selama menjadi pelatih Manchester City, ia pernah mengorbitkan nama - nama macam Micah Richards, Nedum Onouha, bahkan Joey Barton ke tim inti The Citizens. Dipadukan dengan pemain senior seperti David James, Claudio Reyna, dan Nicolas Anelka, Manchester City sempat merasakan nyamannya menjadi penghuni papan tengah di bawah asuhan Pearce setelah sebelumnya banyak berkutat dengan zona relegasi pada awal kemunculannya di Liga Premier Inggris. Jika sekarang metode yang hampir sama diterapkan di tim nasional, tentu publik berharap sentuhan midas Pearce berlanjut ke jenjang yang lebih krusial lagi, meski banyak juga yang meragukan kredibilitasnya sebagai pelatih tim nasional sekelas Inggris, tim yang seringkali inkonsisten, terlebih baru saja ditinggal pelatih yang berhasil memberikan aura positif ke ruang ganti tim seperti Fabio Capello. Belum lagi pemilihan pemain muda seperti Frazier Campbell, yang hampir menghabiskan 2 musim di meja operasi, tentu semakin mengernyitkan dahi pihak - pihak yang selama ini puas dengan performa Inggris dibawah Capello.

Malam nanti, finalis Piala Dunia 2010, Belanda akan berkunjung ke Inggris untuk memberikan tes pertama bagi Pearce dan armada mudanya. Tentu kali ini Pearce ingin memberikan kesan baik bagi publik Inggris setelah tragedi Piala Dunia 1990 sempat mengguncangkan nama Stuart Pearce.

Senin, 21 November 2011

Rumput Tetangga Memang Lebih Hijau


Judul tulisan diatas merupakan sebuah kiasan yang sudah turun temurun dilafalkan masyarakat dunia. Terkadang kita merasa apa yang kita miliki saat ini tidak lebih baik dari apa yang dimiliki oleh tetangga kita. Begitulah yang terjadi di sepakbola Indonesia. Lagi - lagi ratusan juta pasang mata rakyat Indonesia harus menghela nafas dalam - dalam ketika sepakan penalti kapten timnas Malaysia, Bakhtiar bin Baddrol meluncur pelan dari tepisan Kurnia Meiga. Malaysia sekali lagi mempermalukan kita di depan ribuan pendukung 'Garuda Muda' di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Malaysia juga sekali lagi 'memeletkan' lidahnya di tengah kepedihan kita, karena mereka tanpa kita sadari telah menguasai persepakbolaan Asia Tenggara dengan menjuarai kejuaraan sepakbola di tingkatan usia yang berbeda, yakni SEA Games (usia 23 tahun) dan Piala AFF (usia senior). Hasil tersebut setidaknya mengingatkan saya dengan tim nasional Spanyol yang juga berhasil mengawinkan berbagai gelar tim senior dengan tim juniornya.

ANALISIS PERTANDINGAN

Gol sundulan bek Gunawan Dwi Cahyo yang meluncur deras ke pojok kanan gawang Malaysia yang dikawal Khairul Fahmi seperti membuat SUGBK bergetar, begitu juga mungkin di dalam dada setiap penonton yang hadir langsung di stadion. Namun, setelah itu permainan kita seakan mengambang. Kesalahan passing, kontrol bola, dan kesalahan elementer lain seperti dribbling yang tidak tepat waktunya seperti tidak pernah menjadi pelajaran bagi skuad arahan Rahmad Darmawan. Sebaliknya, Malaysia justru banyak memanfaatkan kesalahan - kesalahan Indonesia. Terhitung dari banyaknya shot on goal yang dilepaskan Malaysia sejak gol Indonesia. Ada sekitar 4-5 tendangan yang mengarah tepat ke gawang Indonesia. Lalu, kembali melalui sebuah serangan balik Malaysia berhasil menghukum kelalaian lini pertahanan Indonesia yang memberi ruang kepada Omar Mohd yang berhasil mengonversi umpan tarik Bakhtiar Baddrol di mulut gawang Indonesia. Skor kembali imbang 1-1.

Sepanjang jalannya pertandingan, Indonesia memang banyak memiliki ruang untuk mengembangkan permainan, tapi Malaysia memiliki ide lain dengan melakukan pressing ketat di area 16 meter pertahanannya. Gurusamy, gelandang bertahan Malaysia bermain "sesuai tugasnya" menurut saya. Karena posisinya diarahkan untuk berada tetap di depan 4 bek Malaysia, menjaga keseimbangan lini tengah, dan mengintersepsi umpan - umpan terobosan yang mengarah ke pertahanan timnya. Begitu juga dengan gaya bermain Malaysia yang mengembangkan permainan narrow alias meminimalisir spasi diantara pemainnya dan memanfaatkan lebar lapangan menggunakan umpan - umpan panjang Bakhtiar bin Baddrol. Bek sayap mereka Mahali dan Azmi pun jarang melakukan overlap, sesekali saja ia naik membantu penyerangan. Ini yang membuat counter attack Indonesia seringkali mentah di kaki full-back Malaysia, selain juga karena gelandang sayap Indonesia Okto dan Andik kerap kali kehilangan akal untuk melewati Mahali dan Azmi. Kemudian untuk lini depan, posisi penyerang Malaysia, Fakri lebih banyak terakuisi oleh pertahanan Indonesia, itu dikarenakan ia bermain sebagai penyerang tunggal dan posisi Baddrol yang lebih banyak turun sebagai gelandang tengah, atau lebih sering dikenal dengan istilah false 10.

Malaysia juga sering diuntungkan dengan gaya bermain Indonesia yang mengandalkan umpan - umpan panjang ke pertahanan mereka. Gaya bermain yang menurut saya lama kelamaan bisa mendarah daging di tubuh timnas sepakbola Indonesia. Selama perhelatan SEA Games ini kita beruntung memiliki Patrich Wanggai dan Titus Bonai yang skill individunya diatas rata - rata, kecepatan Andik dan Okto, serta kemampuan melepas umpan(baik pendek maupun panjang) yang sangat baik yang dimiliki Egi di tengah. Karena sesungguhnya menurut saya pribadi, secara kolektif permainan Indonesia masih jauh dari kata memuaskan, apalagi jika harus berhadapan dengan Malaysia yang secara taktikal jauh lebih baik dari Indonesia.

Di babak kedua dan perpanjangan waktu, jalannya pertandingan tidak banyak berubah. Rahmad Darmawan memasukkan Ferdinand Sinaga, Hendro Siswanto, dan Ramdani Lestaluhu untuk menggantikan Andik Vermansyah, Mahadirga Lasut dan Patrich Wanggai. Hendro bertukar peran dengan Egi Melgiansyah yang cenderung lebih defensif. Ferdinand mengisi pos penyerang, dan Ramdani menjadi sayap kanan. Indonesia sempat mencetak gol di awal babak perpanjangan waktu, namun dianulir wasit karena tayangan ulang menunjukkan Okto berada di posisi offside. Memasuki babak perpanjangan waktu, keterbatasan fisik menjadi kendala kedua tim untuk memainkan umpan - umpan pendek dari lini ke lini, alhasil acapkali saya menyoroti Egi sering melakukan long passing ke pertahanan Malaysia, juga sepanjang pertandingan karena jarak antar pemain Indonesia terlihat begitu renggang. Di menit - menit terakhir, Indonesia memiliki berbagai peluang melalui Ferdinand, Egi, dan Tibo, namun masih gagal menembus gawang Malaysia.

Di babak adu penalti, fase dimana kekuatan mental berbicara lebih banyak melampaui kekuatan fisik dan teknik. Gunawan dan Ferdinand sebagai algojo Indoesia gagal melakukan tugasnya, sementara di kubu Malaysia, Fakri menjadi satu - satunya yang gagal. Skor berakhir 4-3. Malaysia menjadi juara SEA Games 2011. Indonesia lagi - lagi harus menelan pil pahit dengan 'hanya' meraih medali perak SEA Games cabang sepakbola, mengulangi perolehan SEA Games tahun 1979, kala itu Indonesia juga dikalahkan Malaysia di Gelora Utama Senayan (nama lama SUGBK) dengan skor 0-1. Sementara itu, Malaysia berhasil menorehkan tinta emas di sejarah persepakbolaan Asia Tenggara dengan mempertahankan gelar yang mereka raih pada SEA Games 2009 di Laos. Kala itu, Malaysia juga meraih medali emas dibawah asuhan pelatih Rajagopal.

Inilah yang menjadi kenyataan. Selayang kita memandang rumput tetangga kita memang lebih hijau, jauh lebih hijau. Kita harus menahan perasaan dalam - dalam karena sepakbola kita, sekali lagi nyaris meraih gelar. Nyaris yang sudah kesekian kali kita harus telan hidup - hidup melihat kenyataan sepakbola Malaysia sudah jauh meninggalkan sepakbola Indonesia yang masih "autis" dengan konflik dualisme liga.

Selasa, 06 September 2011

Catatan dan Harapan


Selalu ada magis tersendiri tiap kali tim nasional sepakbola Indonesia bertanding di stadion utama Gelora Bung Karno, catat: selalu. Tiada yang lebih menggembirakan buat saya dibanding menantikan kapan tim nasional sepakbola negara saya bertanding di kandangnya, dengan begitu saya bisa menyaksikan sekaligus mendukung secara langsung di stadion. Mungkin perasaan itu juga yang dimiliki oleh ribuan suporter yang berbondong - bondong datang dari berbagai kalangan dan golongan. Euforia kebangsaan itu selalu membuncah kala semuanya melangkah berjalan menuju stadion.

Malam itu Indonesia menjamu Bahrain di ajang pra-kualifikasi Piala Dunia 2014 zona Asia. Bahrain yang kita kalahkan di Piala Asia 2007 telah 2 kali menembus babak play-off Piala Dunia, datang dengan rasa penasaran yang semakin besar karena mereka 2 kali juga gagal di babak tersebut, pertama di tahun 2006 saat kalah dari Trinidad & Tobago, dan di tahun 2010 saat Selandia Baru menyingkirkan mereka. Keraguan itu sempat mengapung kala gelandang kita Ahmad Bustomi dan Firman Utina 2-3 kali kehilangan bola, entah karena terlalu asik 'menggoreng' bola atau terlalu lama menahan bola untuk mencari rekan sehingga lawan bisa merebut. Beruntung fastbreak yang dilancarkan Bahrain tidak terlalu bermasalah bagi lini belakang. Bagi saya, pemain terbaik malam itu adalah Hamka Hamzah. Terlepas dari bobolnya gawang kita, kalau saya tidak salah mengamati, ia pemain paling banyak dan sukses melakukan intersepsi, tekel, dan duel udara. Angka statistik Hamka menurut saya hanya bisa disamai Ahmad Bustomi. Gelandang favorit saya ini selalu bermain tenang dalam meng-konduktor-i irama permainan, mengalirkan bola dari satu lini ke lini lain, jumlah passingnya pun saya amati banyak yang sukses, meski akhirnya harus diganti karena cedera, menurut saya dialah pemain yang memiliki visi permainan paling jelas dan paham bagaimana memainkan sepakbola modern.

Sepakbola adalah permainan kolektivitas, bagaimana kemampuan individu menjadi inferior manakala kemampuan tersebut tidak memberi manfaat bagi kelompoknya. Prinsip sepakbola itu sesungguhnya sederhana. Tidak serumit olahraga lain macam golf, baseball, yang mesti dimainkan oleh orang tertentu dan alat tertentu juga. Belum lagi aturan mengenai poin - poin, saya sendiri kurang paham bagaimana penilaiannya. Di sepakbola, dari rakyat miskin hingga orang parlente semua bisa melakukannya. Hitam, putih, kurus, gemuk, tinggi, pendek boleh. Siapapun. Jadi jangan heran jika kita melihat aksi lempar botol dan petasan seperti yang terjadi di pertandingan malam tadi, karena pada dasarnya siapapun, entah berpendidikan atau tidak, dewasa atau tidak, sepakbola yang begitu sederhana berhak disaksikan siapapun. Di sepakbola, siapa yang mampu mencetak gol lebih banyak dari lawan, dialah pemenangnya. Kita tidak akan melihat bagaimana indahnya permainan suatu tim atau betapa buruknya suatu tim bermain, yang jelas kemenangan adalah suatu nilai yang dianggap istimewa, terlebih bagi tim sepakbola dengan nirgelar seperti Indonesia. Sebuah tim yang bermain di hadapan ribuan pendukungnya lazimnya lebih banyak menguasai jalannya pertandingan, penetrasi ke kotak penalti lawan yang bertubi - tubi dan segala jenis kegagahan lain. Tapi yang saya dan mungkin ribuan pasang mata lain saksikan malam tadi tidak lain adalah hal yang sudah kita hafal dari permainan sepakbola kita: umpan panjang tanpa jelas tujuan dan penyelesaiannya. Begitu dan begitu yang dilakukan pemain kita. Saya tidak menyalahkan pihak manapun, baik Firman yang tampil di bawah performa biasa, atau strategi pelatih Wim Rijsbergen yang tidak berjalan dengan baik, ini semua adalah produk kompetisi lokal yang (maaf) kacrut. Saya ibaratkan korelasi kompetisi, pemain dan pelatih itu bagai petani, hasil tani, dan yang mengolah hasil tani.

Sebaik apapun hasil tani, jika jatuh ke tangan yang tidak handal di bidangnya, maka hasil tani tersebut menjadi hal yang sia - sia. Begitu juga dengan hasil tani, jika tidak diolah secara efektif dan efisien, mustahil akan menjadi sesuatu yang memiliki nilai. Sama halnya dengan petani, kemampuan petani dalam menyeleksi produk mana yang dirasa memiliki nilai lebih dari yang lainnnya menjadi krusial. Kompetisi, pembinaan, sistem yang memadai menjadi hal yang WAJIB diperhatikan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini PSSI sebagai induk sepakbola negeri kita. Tanpa hal tersebut, mustahil kita akan memetik prestasi sepakbola yang selama ini kita rindukan. Sebagai komparasi, Jerman mengalami keterpurukan dengan menjadi juru kunci di Piala Eropa 2000, padahal status mereka saat itu adalah juara bertahan. Jerman diperkuat sejumlah pemain senior, sebut saja Lothar Matthaeus, Thomas Haessler, Markus Babbel yang telah lama menghuni skuad Der Panzer. Sadar akan hal ini, federasi sepakbola Jerman menyadari adanya degradasi yang harus segera dihapus. Mereka merevitalisasi sistem pembinaan pemain muda, kompetisi, keuangan klub, dll. Memang butuh waktu yang agak lama untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, yakni kejayaan sepakbola yang selama ini mereka rindukan. Setidaknya pemain tim nasional Jerman saat ini rata - rata berusia 23 - 24 tahun, bahkan pemain seusia Phillip Lahm (27 tahun) sudah menjadi pemain yang dianggap uzur di timnya. Hasil revolusi dan revitalisasi besar - besaran tersebut kelak akan mereka rasakan, karena sejauh ini mereka telah meraih posisi 3 di Piala Dunia 2006, runner up Piala Eropa 2008, dan semifinalis Piala Dunia 2010, hanya masalah waktu yang akan menjawab kapan Jerman akan meraih gelar demi gelar.

Pemain yang berbakat tidak ubahnya hasil tani dan produk dari sistem kompetisi dan pembinaan yang baik. Tiada mungkin pemain berbakat datangnya jatuh dari langit seperti Mr. Bean. Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Xavi, Andres Iniesta, bisa menjadi seperti sekarang ini karena mereka telah melalui tahapan pembinaan yang baik. Memang tidak semua akan menjadi pemain - pemain tersebut, setidaknya jika federasi sepakbola kita melakukan hal itu, maka kita telah berada di jalur yang benar.

Pelatih adalah muara dari segala proses yang telah dilalui pemain lewat kompetisi yang sudah dijalaninya. Keputusan pemilihan pemain dan taktik yang dapat diterapkan menjadi hal yang harus dikuasai setiap pelatih. Seperti halnya bagaimana kemampuan koki dalam memilih resep masakan yang dapat menghasilkan kuliner yang 'mantap'. Pelatih sekelas Pep Guardiola tahu betul mengapa Barcelona harus menjual Yaya Toure ke Manchester City, karena saat itu Sergio Busquets siap 'mekar' untuk meraih posisi di tim inti Barcelona.

Untuk menghasilkan tim nasional yang mampu berprestasi bukanlah perkara mudah, semudah Bandung Bondowoso membangun Candi Prambanan dalam waktu semalam. Malaysia, Singapura, Thailand, telah jauh lepas landas meninggalkan saudaranya. Tinggal bagaimana perubahan dapat dilakukan demi harapan jutaan penggemar sepakbola di negeri ini. Ya seperti kata @andibachtiar (Andibachtiar Yusuf, sutradara dan orang yang mengaku beragama sepakbola), yang negeri ini miliki adalah harapan dan harapan....

Senin, 22 Agustus 2011

Setan - Setan Muda Manchester


Legenda Liverpool, Alan Hansen yang notabene pundit senior di acara televisi 'Match of The Day', yakni acara sepakbola yang ditayangkan di saluran televisi BBC (saluran televisi yang berbasis di Inggris Raya) mengeluarkan pernyataan historikal dengan menyebutkan Manchester United (MU) yang diasuh Alex Ferguson tidak akan bisa memenangkan gelar apapun dengan 'anak - anak' atau 'you"ll never win anything with kids'. Terlepas dari rivalitas perolehan gelar antara Liverpool dan MU, ucapan tersebut terlontar dari mulut Alan Hansen lantaran MU mengalami kekalahan di pekan pertama musim 1995/1996 dari Aston Villa dengan skor 3-1.

Di musim tersebut, Fergie secara mengejutkan melego beberapa pemain kuncinya yakni Mark Hughes, Paul Ince, Lee Sharpe, Andrei Kanchelskis. Padahal dengan pemain - pemain tersebut, MU berhasil 'memulangkan' gelar juara Liga Inggris yang selama 2 dekade gagal dirasakan publik Old Trafford. Tanpa menjelaskan alasan secara eksplisit, keputusan tersebut mengundang pro kontra di kalangan penggemar maupun pengamat sepakbola. Terlebih jika dikorelasikan dengan hasil di pekan pertama musim 1995/1996, MU sebagai juara bertahan kalah di pertandingan pembuka.

Sepeninggal 4 pemain senior tersebut, Fergie berkeyakinan akan memulihkan kepercayaan publik dengan mengorbitkan pemain muda jebolan akademi sepakbola MU. Kita tentu mengenal sebutan 'Class of 92', angkatan akademi sepakbola MU tahun 1992 yang berhasil menjuarai Piala FA Usia Muda, dan mengangkat karier legenda - legenda hidup MU yakni Ryan Giggs, Paul Scholes, Neville bersaudara, David Beckham, dan Nicky Butt. Performa gemilang yang ditunjukkan anak - anak itu di level reserve meyakinkan Fergie untuk segera menyiapkan arena bagi calon punggawa MU di musim - musim mendatang tersebut. 1995/1996 adalah musim pertama bagi Ryan Giggs dkk bermain bersamaan di tim senior. Hasilnya? Double winner berhasil direngkuh MU. Bermaterikan kombinasi pemain senior seperti Eric Cantona, Steve Bruce, dan Gary Pallister, Fergie berhasil meramu serum yang jitu mematahkan segala keraguan di mata publik. Lebih istimewa lagi, MU meraih gelar Piala FA dengan mengalahkan Liverpool di final, dan memastikan gelar Liga Inggris setelah menang 3-1 atas Liverpool di Anfield. Suatu cara yang istimewa untuk membungkam opini Alan Hansen.

Fast-forward waktu ke musim 2011/2012, dimana MU baru saja ditinggal 3 pemain senior yang musim lalu berhasil memberikan gelar juara Liga Inggris bagi MU untuk kali ke-19, yakni Edwin van Der Sar, Gary Neville, dan Paul Scholes. Manajemen MU lalu sibuk berlomba di bursa transfer demi menambal lubang yang ditinggalkan 3 pemain yang pensiun tersebut. David De Gea, Phil Jones, Ashley Young direkrut dengan budget nyaris menyentuh angka 50 juta poundsterling. Pemain reserve seperti Tom Cleverley, Danny Welbeck, Federico Macheda, Mame Biram Diouf pulang dari masa pinjaman.

Sukses mendulang 3 kemenangan di 3 pertandingan awal musim ini, banyak yang menyebut kesuksesan ini diraih berkat penampilan apik dari rekrutan baru MU, De Gea, Jones, dan Young, ditambah semakin matangnya 2 produk akademi MU, Cleverley dan Welbeck. Welbeck, pemain lokal kelahiran Salford (daerah di Manchester tempat kelahiran Paul Scholes, Wes Brown, Danny Simpson) mulai menunjukkan kilaunya untuk siap berkompetisi di lini depan MU bersama Wayne Rooney, Javier 'Chicharito' Hernandez, Dimitar Berbatov, Michael Owen, Federico Macheda, dan Mame Biram Diouf. Sejauh ini dengan belum fitnya Chicharito, Welbeck dipercaya The Gaffer menemani Rooney di lini depan. Hasilnya lumayan juga, Welbeck berhasil menyarangkan 1 gol kala MU menundukkan Tottenham Hotspur 3-0 di pertandingan kedua Liga Inggris yang dimainkan MU. Cleverley berhasil memainkan peran apik di lini tengah dengan memberi assist kepada rekannya tersebut. De Gea melakukan sekitar 4-5 penyelamatan, duet Jones - Evans kokoh di posisi bek menggantikan duet Ferdinand - Vidic.

Dipadukan dengan pemain senior seperti Evra, Rooney, dan Nani, Fergie seharusnya mampu mengembalikan hegemoni pemain muda untuk meraih kesuksesan demi kesuksesan bagi MU. Dengan memiliki kedalaman skuad senior dan muda seperti sekarang ini, rasanya bukan tidak mungkin melihat MU kembali berjaya di musim - musim mendatang bersama Setan - Setan Mudanya, tinggal bagaimana Fergie bisa menemukan (lagi) serum yang jitu untuk pasukannya.

Who's said we can never win anything with kids? We reach everything with kids!:)

Minggu, 10 Juli 2011

Jika Saya Sergio Batista


Kita sudah menyaksikan bagaimana tim Tango Argentina belum mampu memenuhi ekspektasi ribuan pecinta sepakbola di tanah airnya dan penggemar timnas Argentina yang menyaksikan Piala Amerika 2011. Nada sumbang berdatangan, bahkan cibiran bagi kesebelasan yang diasuh Sergio Batista ini. Banyak yang menyayangkan bagaimana Lionel Messi cs tidak bermain dengan kemampuan yang biasa mereka keluarkan saat berkostum klubnya masing - masing.

Saya tidak sedang bermimpi, namun coba mengibaratkan diri saya sebagai Sergio Batista, bekas gelandang Argentina di Piala Dunia 1986 yang kini mengarsiteki negaranya tersebut. Saya mengambil point of view seperti sedang bermain game Football Manager (FM), berikut yang akan saya lakukan jika saya Sergio Batista.

Mengubah susunan formasi sebagai berikut:
Kiper: Sergio Romero. Pos ini akan tetap saya percayakan kepada kiper tim AZ Alkmaar ini, mengingat permainannya yang gemilang kala menahan gempuran Radamel Falcao Garcia dan Kolombia nya di pertandingan kedua grup A.

Bek kiri: Javier Zanetti. Il Capitano Internazionale yang telah bermain bola untuk negaranya sejak tahun 1994 ini memiliki kapabilitas menjamah kedua sisi lapangan pertandingan. Peran sebagai bek kiri kini nyaris menjadi posisi utamanya di klub mengingat Internazionale memiliki bek kanan handal asal Brazil, Maicon.

Bek kanan: Pablo Zabaleta. Sejak usia muda bek Manchester City ini telah fasih bermain sebagai bek kanan. Pengalamannya bermain di La Liga dan Liga Premier Inggris seharusnya mampu memperbaiki kinerja lini full-back Albiceleste.

Untuk posisi bek tengah, saya menganggap ini adalah posisi yang sangat rawan bagi tim Argentina, mengapa? Telah 2 pertandingan kita saksikan pelatih Sergio Batista memainkan duet Nicolas Burdisso dan Gabriel Milito. Cukup aneh bagi saya, karena duet ini sudah sejak lama tidak bermain secara bersamaan atau dapat dikatakan duet bek tengah ini bukanlah duet reguler tim Argentina.

Gabriel Milito. Bek tengah Barcelona yang belakangan menjadi penghangat bangku cadangan El Barca lantaran cedera berkepanjangan yang sempat menimpanya dan semakin kompaknya duet Carles Puyol - Gerard Pique ini tiba - tiba menyita perhatian publik dengan menjadi bek inti di tim nasionalnya. Saya menyayangkan keputusan pelatih Sergio Batista menepikan Martin Demichelis dari tim nasional. Secara usia, Demichelis dan Milito memang tidak terlalu terpaut jauh. Demichelis bahkan menjadi starter di setiap pertandingan yang Argentina mainkan di Piala Dunia 2010 dan ia juga bermain bagi Bayern Munchen di final Liga Champions 2010. Menurut saya agak ironis Demichelis tidak diikutsertakan di turnamen Piala Amerika kali ini, karena ia konsisten bermain di level tertinggi kompetisi baik yang berskala Eropa maupun dunia. Artinya dengan lebih intensifnya Demichelis tampil di pertandingan kompetitif, seharusnya kansnya lebih besar untuk membela timnas Argentina. Namun kenyataan berkata lain, Martin Demichelis tidak ikut serta di Piala Amerika kali ini.

Saya memiliki opsi seperti ini, memainkan Javier Mascherano sebagai bek tengah seperti yang sering dilakukan Pep Guardiola di Barcelona pada paruh kedua La Liga dan bahkan final Liga Champions musim lalu. Hasilnya tidak terlalu buruk. Javier bermain apik saat mengisi posisi bek tengah yang sering ditinggal Carles Puyol yang banyak berkutat dengan cederanya di paruh kedua musim lalu. Messi sendiri pernah menyatakan tipe pemain macam Javier Mascherano adalah tipe pemain yang akan selalu dibutuhkan untuk setiap tim, jadi tidak ada salahnya menempatkan kapten Argentina di Piala Dunia 2010 itu di posisi bek tengah berdampingan dengan Nicolas Burdisso.

Lalu bagaimana susunan lini tengahnya?
Saya memiliki 2 opsi untuk lini tengah. Yang pertama, menempatkan posisi 2-1 yakni memainkan Ever Banega dan Esteban Cambiasso sebagai holding midfielder serta sedikit "menurunkan" Messi sebagai trequartista di belakang penyerang. Opsi ini berlaku jika memang Argentina hendak melakukan strategi "gung ho" (yang sering main FM pasti tahu) alias menyerang dengan tempo tinggi. Namun jika memang harus memainkan opsi ini, akan sedikit banyak menggembosi lini tengah dan lini pertahanan tim, karena Messi akan dipaksakan lebih menyerang dibanding mengatur serangan dari lini tengah. Lalu opsi kedua yakni dengan memainkan Javier Pastore. Salah satu properti terpanas di bursa transfer musim panas ini menurut saya terlalu berharga untuk sekedar menjadi cadangan di Piala Amerika. Terlebih pelatih Sergio Batista seharusnya menyadari ajang sebesar ini mestinya menjadi "arena" bagi Pastore untuk unjuk kebolehan sebagai playmaker seperti yang dengan mulus ia lakukan di Palermo musim lalu.

Saya sadar saya secara pribadi (bukan sebagai jika saya Sergio Batista) akan dipusingkan dengan deretan lini depan yang berisi: pemain terbaik dunia 2 kali berturut - turut, topskorer Liga Champions selama 3 musim terakhir, Lionel Messi, lalu striker dan winger Real Madrid, Gonzalo Higuain dan Angel di Maria, kemudian striker yang mencetak dwigol di final Liga Champions musim 2010, Diego Milito, ada juga topskorer Liga Inggris bersama Dimitar Berbatov musim lalu, Carlos Tevez, lalu menantu Diego Maradona yang juga punggawa Atletico Madrid, Sergio 'Kun' Aguero, dan yang terakhir adalah striker yang berhasil membawa klubnya Napoli masuk ke Liga Champions musim depan, Ezequiel Lavezzi. Pilihan harus tetap dilakukan. Saya juga memiliki beberapa opsi untuk pos ini. Opsi pertama, memainkan trio Lionel Messi - Gonzalo Higuain - Angel Di Maria. Trio ini mampu memainkan posisi berbeda di lini depan sama baiknya, alias mereka dapat bertukar posisi jika memang dibutuhkan saat pertandingan mengalami deadlock. Higuain memiliki kapabilitas sebagai winger kanan, Messi dapat bermain sama baiknya di sisi manapun di lini depan, Di Maria biasa ditempatkan di sisi kanan maupun kiri oleh Jose Mourinho di klubnya. Jadi dengan trio ini dapat dipastikan lini belakang manapun akan mendapat teror tiada henti sepanjang pertandingan. Opsi kedua, memainkan trio Sergio Aguero - Diego Milito - Carlos Tevez, dengan asumsi Lionel Messi dimainkan sebagai trequartista. Banyak yang mengkritik pelatih Batista karena tidak memercayakan lini depan kepada Aguero yang mencetak gol penyeimbang di laga pertama kontra Bolivia. Tidak banyak tipe striker murni yang dimiliki Argentina sepeninggal Gabriel Batistuta & Hernan Crespo, dan menurut saya Diego Milito bisa menjadi opsi stiker murni di lini depan Argentina. Tanpa mengecilkan peran Ezequiel Lavezzi di skuad Argentina, namun jika melihat performanya yang kurang memuaskan di 2 pertandingan awal, rasanya Sergio Batista memiliki alasan untuk memarkir striker asal Napoli tersebut demi kepentingan taktik dan strategi tim.

Jika mengingat perkataan Adolf Hitler bahwa pertahanan terbaik adalah menyerang, maka tidak ada cara lain selain memanfaatkan sumber daya yang dimiliki Argentina di lini depan, dengan penekanan tiga striker. Tinggal bagaimana Sergio Batista menggodok strategi yang tepat untuk diterapkan di timnya agar mampu memberikan hasil maksimal di perhelatan kali ini. Ini opiniku, bagaimana opinimu? :D

Senin, 18 April 2011

Arsenal oh Arsenal...


Arsenal akan tetap menjadi Arsenal yang sama, Arsenal yang menginjak pedal gas dalam - dalam di awal musim, lalu seperti kehilangan kendali untuk menghentikan lajunya sehingga kehilangan kontrol dan keseimbangan di pertengahan musim. Seperti sudah ditakdirkan, Arsenal terlihat begitu menakutkan di awal musim dengan gelontoran golnya ke gawang lawan, seperti kemenangan 6-0 atas Blackpool, atau dengan jumlah gol yang sama saat mereka menghancurkan Braga di Liga Champions. Tapi mereka terlihat begitu ringkih ketika harus menyerah dari West Brom dan Newcastle di kandang, dan ketika mereka disalip begitu mudahnya saat melakoni Derby London melawan Tottenham Hotspur yang mana mereka telah unggul 2-0 pada babak pertama, namun pada akhir laga kedudukan justru berbalik menjadi 3-2 bagi tim tamu. Belum lagi problem pelik macam cedera pemain yang silih berganti menghantui ruang ganti tim. Fabregas, Diaby, Fabianski, Nasri harus 'mengantri' untuk naik meja operasi.

Rollercoaster tidak berhenti disitu, Arsenal sempat jumawa ketika mereka berhasil menundukkan Chelsea pada akhir Desember, dan tentu yang tidak terlupakan adalah saat mereka menundukkan Barcelona di Emirates Stadium pada babak perdelapan besar Liga Champions. Kala itu permainan mereka disanjung setinggi langit, pemuda macam Jack Wilshere acapkali menjadi buah bibir karena permainannya yang menawan, Robin Van Persie seakan melakukan comeback yang sempurna di awal musim dingin karena jumlah golnya yang mengharuskan Marouane Chamakh menjadi penghangat bangku cadangan. Kemudian mereka berhasil mencapai final Piala Carling (lagi) setelah terakhir mencapainya pada musim 2006/2007. dan (lagi-lagi) mereka harus menyerah di partai puncak, kali ini lawannya...err.. Birmingham City, tim yang notabene sedang berjuang keluar dari zona merah Liga Inggris. Blunder Koscielny - Sczeszcny (maafkan spelling saya) di penghujung pertandingan mengharuskan Cesc Fabregas menunda debutnya mengangkat trofi sebagai kapten the Gunners. Apa yang salah dengan tim yang pada nyatanya memainkan sepakbola atraktif, bermaterikan pemain yang memiliki skill individu di atas rata - rata dan dilatih pelatih berpengalaman macam Arsene Wenger? Berikut beberapa faktor mengapa Arsenal akan tetap menjadi Arsenal:

1. Figur Pemimpin
Banyak yang menyesalkan kepergian Patrick Vieira ke Juventus setelah musim 2004/2005 berakhir. Pasalnya semenjak pensiunnya Tony Adams, Arsene Wenger belum menemukan figur yang cocok dijadikan pemimpin di lapangan selain Vieira. 2004/2005 juga merupakan musim perdana Francesc Fabregas Soler, bocah asal Spanyol berambut mullet yang 5 musim kemudian mendapat giliran mengemban tugas sebagai jenderal lapangan yang diharapkan membawa kembali masa kejayaan Arsenal seperti era Adams dan Vieira. Cesc Fabregas begitu saat ini kita mengenalnya, adalah gelandang tengah dengan visi permainan luar biasa, passing dan shootingnya sama akuratnya, namun cedera kerap kali menghambatnya menampilkan permainan terbaiknya. Dan ketika Fabregas absen, Arsenal bagai kehilangan induk semang. Song, Diaby, Wilshere, Nasri dan gelandang lain seakan kehabisan ide untuk membongkar pertahanan lawan. Namun, saya melihat peran Fabregas bukanlah sebagai pemimpin, ia lebih memberikan kekuatan psikologis kepada rekan-rekannya, karena Fabregas jarang berteriak mengatur seperti apa yang dilakukan Vieira, namun kehadirannya begitu dirasa memberikan kenyamanan bermain bagi skuad Wenger. Arsenal rindu sosok figur pemimpin, literally pemimpin macam John Terry di Chelsea atau Nemanja Vidic bagi Manchester United.

2. Mental dan inkonsisten
Bertahun - tahun lalu ketika Ashley Cola masih bermain di Arsenal, ia memiliki pelapis muda (pada saat itu) yakni Gael Clichy, yang digadang - gadang bakal menjadi pemain kunci bagi Arsenal di tahun - tahun mendatang. Juga Emmanuel Eboue, Theo Walcott, Aaron Ramsey yang direkrut saat usia mereka belum juga berkepala 2. Ketika itu pula banyak anekdot 'Arsenal 5 tahun kemudian bakal menjadi tim terbaik di dunia dengan talenta muda yang dimilikinya'. Saat ini apakah mereka telah benar - benar menjadi tim terbaik di dunia? Tentu tidak. Tim terbaik di dunia tidak akan kecolongan 4 gol di babak kedua ketika mereka telah unggul 4-0 di babak pertama. Well, saya tidak menyindir apa yang terjadi pada Arsenal saat mereka bermain seri dengan Newcastle United, tapi memang begitu kenyataannya. Atau tim terbaik dunia bukanlah tim yang memainkan 4 kiper secara bergantian selama satu musim, ini menunjukkan kelabilan dan ketidakseimbangan mental di skuad Arsenal. Lihat saja ketika mereka disingkirkan Barcelona di leg 2 perdelapan final, atau ketika harus tersingkir dari Piala FA lantaran dikalahkan rival abadi mereka Manchester United. Mental bertanding pasukan muda Wenger dan konsistensi lagi - lagi dipertanyakan.

3. Pemain Belakang
Saya benar - benar tidak membandingkan Jamie Carragher, John Terry, Rio Ferdinand, William Gallas dengan Johan Djourou, Laurent Koscielny, atau Thomas Vermaelen, tapi bukannya memang sudah terlihat secara signifikan perbedaan nama - nama di atas? Arsenal membutuhkan bek nomor wahid untuk menjaga kestabilan permainannya. Lihat saja jika dibandingkan dengan barisan gelandang dan penyerang yang telah memiliki reputasi hebat di Eropa bahkan dunia, sungguh jomplang jika mereka masih harus bertumpu dengan nama yang (maaf) medioker macam Djourou, Koscielny padahal mereka harus berhadapan dengan Lionel Messi, Luis Suarez dan penyerang - penyerang lain di berbagai kompetisi berbeda. Wenger mestinya men-serius-kan langkahnya merekrut Per Mertesacker pada musim panas lalu.

Arsenal masih akan berhadapan dengan Manchester United di Emirates pada awal Mei, dengan defisit 6 poin dan unggul 1 pertandingan akankah mereka mampu mengembalikkan prediksi dan menyalip Manchester United di puncak klasemen? Akankah Arsenal 'berbuka puasa' setelah terakhir meraih gelar Liga Inggris sejak 2003/2004? We'll see...