Minggu, 12 Mei 2013

Ferguson, Move On, dan Hal – Hal yang Harus Di Move On Kan

Ketika menyaksikan pertandingan Manchester United vs Swansea tadi malam, saya tidak lagi berekspektasi akan hasil akhir yang berpihak pada tim tuan rumah. Mungkin hal yang sama dirasakan oleh jutaan penggemar Manchester United (MU) yang tersebar di seluruh dunia. Kita semua sudah tahu bahwa hari ini adalah hari yang sangat emosional, karena Sir Alex Ferguson (SAF), Paul Scholes dan Albert Morgan (juru pakaian tim) memutuskan untuk mengambil pesangon lebih cepat dari yang dijadwalkan. Haru biru bercampur bangga terasa menyelimuti awan di atas stadion Old Trafford, Manchester. Sudah terlalu banyak artikel tentang pensiunnya SAF. Laman berita Inggris, Guardian mengumumkan mereka mendapati berita pensiunnya SAF membuat Guardian mengalami traffic tertinggi setelah kematian Paus Paulus. Ada yang menjabarkan dari sisi emosional, ada juga yang menjelaskan bagaimana perjalanan SAF menjadi juru taktik yang adaptif ketimbang menemukan racikan baru bagi MU selama hampir 26 tahun. Ada juga yang justru secara lantang mengemukakan ketidaksukaannya terhadap SAF, karena menganggap SAF lebih banyak mempromosikan ‘Fergie Time’, mind games, dsb. Tapi biarkan, haters will always be haters. Awalnya saya termasuk orang yang malah senang ketika SAF mengumumkan dirinya akan pensiun di akhir musim, karena saya memandang kebapukan permainan MU selama 2 musim terakhir merupakan tanggung jawab SAF sebagai pelatih, dan di usianya yang sudah menginjak 71 tahun rasanya waktu pensiun tidak ubahnya bom waktu yang siap meledak kapan saja, dan hanya Tuhan dan SAF yang tahu kapan ledakan tersebut akan terjadi. Tetapi, semalam ketika announcer stadion Old Trafford memberikan mic kepada SAF setelah berpelukan dengan satu persatu pemainnya, saya merasakan ada afeksi begitu dalam kepada kakek tua dari Govan ini. Saya belum pernah sekalipun bertemu dengannya secara langsung, dia bukan Nabi saya, dia juga tidak memiliki ikatan kekeluargaan dengan keluarga saya, tapi entah mengapa begitu ia melakukan salam perpisahan dengan publik Old Trafford dan seluruh pihak yang telah menyaksikannya berdiri di pinggir lapangan selama ia menjadi pelatih, mata saya mulai berkaca – kaca menghadap layar kaca. Perasaan senang ketika ia pensiun, justru berbalik menjadi perasaan sedih, sama sedihnya seperti anak yang tidak ingin ditinggal orang tuanya yang hendak pergi dinas keluar kota. Kemudian saya teringat idiom yang sering diucapkan ketika seseorang patah hati: “move on”. Ya, move on. Idiom ini sebenarnya bersifat universal, karena move on bukan hanya milik mereka yang patah hati, tetapi juga buat orang – orang yang terlalu lama terjebak dalam indahnya masa lalu. Sama halnya yang harus dilakukan MU, move on. Everton harus move on karena ditinggal David Moyes yang musim depan akan menggantikan SAF. Manchester City, Wigan, atau bahkan Chelsea juga harus bersiap – siap move on, karena pelatih mereka masa depannya sangat tidak menentu. Mungkin pemain atau suporter mereka tidak ingin move on, tetapi ketika direktur atau petinggi klub menginginkan hal yang demikian, tidak dapat lagi ditolak. Manchester City misalnya. Kekalahan mereka dari Wigan Athletic di final Piala FA, Sabtu kemarin semakin memperjelas sinyal kedatangan pelatih baru, seperti yang santer diberitakan, Manuel Pellegrini bersiap – siap menggantikannya. Tetapi tidak semua menyukai isu tersebut. Suporter Manchester City sejak awal peluit pertandingan kemarin dibunyikan, berkali – kali men-chants dukungan mereka terhadap Mancini. Mereka tidak ingin move on dari Mancini. Begitu juga yang terjadi pada Wigan Athletic. Usai mengalami keajaiban dengan menumbangkan Manchester City, suporter dan pemain mereka harap – harap cemas kepada Dave Whelan, presiden klub asal Lancashire itu, karena bukan rahasia pelatih mereka Roberto Martinez masuk radar untuk diproyeksikan menjadi pengganti David Moyes di Everton. Roberto Martinez begitu memesona hingga Everton sangat kepincut mendatangkannya. Wigan tidak ingin move on dari hari indah mereka saat memenangi Piala FA, Wigan juga tidak ingin move on dari Roberto Martinez. Sedangkan yang terjadi pada Chelsea juga tidak jauh berbeda. Suporter Chelsea begitu sayangnya kepada Jose Mourinho, sehingga nyaris setiap pertandingan mereka selalu mengelu-elukan namanya. Padahal ia telah meninggalkan Stamford Bridge hampir 6 tahun lalu. Siapapun pelatihnya, baik mereka suka (apalagi mereka tidak suka, seperti Rafa Benitez) harus rela memiliki perasaan seperti dimadu, karena Chelsea sulit move on dari pelatih banyak omong tapi kharismatik dari Portugal tersebut. Sulit move on. Move on bukanlah perkara mudah bagi orang – orang yang masa lalunya banyak diisi dengan kegemilangan dan kejayaan. Apalagi jika hubungan romantisme antara 2 pihak yang bermesraan telah terjadi selama bertahun – tahun, layaknya yang dialami MU dan Sir Alex Ferguson. Move on tidak pernah memberikan pilihan yang baik. Either kita terus mengingat – ingat masa lalu yang notabene sulit untuk terjadi lagi, atau menghadapi kenyataan bahwa kita tidak sedang menikmati masa – masa indah itu. Pilihannya adalah maju tetapi terasa sakit, atau tidak mengalami sakit tetapi tidak juga maju. Jadi harus bagaimana? Ya mau tidak mau harus move on. Layaknya pekerja dan pelajar yang harus move on dari hari libur ke hari kerja, mereka mau tidak mau harus menghadapi kenyataan mereka tidak lagi bermalas – malasan, they need to get back to business. MU harus move on, Everton harus move on, Manchester City, Wigan Athletic, Chelsea, harus bersiap – siap untuk move on. Sebenarnya move on adalah suatu hal yang biasa saja, no big deal (atau kita seharusnya menganggap demikian), karena move on hanya membutuhkan waktu dan proses yang sedikit lama. Indonesia misalnya, negara ini pernah dipaksa move on dari rezim Orde Baru ke era reformasi. Tetapi move on jenis seperti ini justru move on yang diharapkan, sama seperti hubungan yang sudah tidak kondusif, salah satu dari pasangan pasti akan merasa tidak nyaman dan mengajukan permintaan untuk berpisah. Hingga sekarang bangsa yang katanya besar ini bahkan masih sering terjebak dalam masa lalu, bangsa ini masih membutuhkan proses perubahan, bangsa ini harus tetap dan selalu move on. SAF adalah diktator. Bagaimana tidak, ia bisa menentukan berapa menit lagi pertandingan harus disudahi, ia sendiri juga yang menentukan kapan ia pensiun, bukan direktur ataupun ketentuan tertulis lainnya. Bertahun – tahun ia memerintah tidak hanya pemain, tetapi juga petinggi klub, masa jabatannya hanya berbeda 6 tahun dari lamanya Soeharto menduduki kursi presiden Indonesia. Fergie Association, begitulah asosiasi sepakbola Inggris sering disebut, karena keputusannya yang acapkali menguntungkan SAF, mereka dianggap menjadi kaki tangan SAF. Tetapi kediktatorannya justru membuat para fans seperti sedang terlelap dalam selimut tebal, dan tidak ingin dibangunkan dari lelapnya. Dibawahnya, MU meraih segala kejayaan. Kesengsaraan mereka hanya tidak lolos dari fase grup Liga Champions, atau ketika tidak juara lantaran selisih gol, selebihnya Anda tahu sendiri. Dan di penghujung kariernya, ia meletakkan jabatannya bukan lantaran kesehatannya tidak lagi memungkinkan, atau MU tidak lagi berprestasi, ia hanya ingin menemani istrinya, Cathy, karena kematian kakak sang istri membuat Cathy begitu kesepian. SAF tidak ingin berpisah dengan MU, tapi ia harus move on, begitu juga sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar