Selasa, 06 September 2011

Catatan dan Harapan


Selalu ada magis tersendiri tiap kali tim nasional sepakbola Indonesia bertanding di stadion utama Gelora Bung Karno, catat: selalu. Tiada yang lebih menggembirakan buat saya dibanding menantikan kapan tim nasional sepakbola negara saya bertanding di kandangnya, dengan begitu saya bisa menyaksikan sekaligus mendukung secara langsung di stadion. Mungkin perasaan itu juga yang dimiliki oleh ribuan suporter yang berbondong - bondong datang dari berbagai kalangan dan golongan. Euforia kebangsaan itu selalu membuncah kala semuanya melangkah berjalan menuju stadion.

Malam itu Indonesia menjamu Bahrain di ajang pra-kualifikasi Piala Dunia 2014 zona Asia. Bahrain yang kita kalahkan di Piala Asia 2007 telah 2 kali menembus babak play-off Piala Dunia, datang dengan rasa penasaran yang semakin besar karena mereka 2 kali juga gagal di babak tersebut, pertama di tahun 2006 saat kalah dari Trinidad & Tobago, dan di tahun 2010 saat Selandia Baru menyingkirkan mereka. Keraguan itu sempat mengapung kala gelandang kita Ahmad Bustomi dan Firman Utina 2-3 kali kehilangan bola, entah karena terlalu asik 'menggoreng' bola atau terlalu lama menahan bola untuk mencari rekan sehingga lawan bisa merebut. Beruntung fastbreak yang dilancarkan Bahrain tidak terlalu bermasalah bagi lini belakang. Bagi saya, pemain terbaik malam itu adalah Hamka Hamzah. Terlepas dari bobolnya gawang kita, kalau saya tidak salah mengamati, ia pemain paling banyak dan sukses melakukan intersepsi, tekel, dan duel udara. Angka statistik Hamka menurut saya hanya bisa disamai Ahmad Bustomi. Gelandang favorit saya ini selalu bermain tenang dalam meng-konduktor-i irama permainan, mengalirkan bola dari satu lini ke lini lain, jumlah passingnya pun saya amati banyak yang sukses, meski akhirnya harus diganti karena cedera, menurut saya dialah pemain yang memiliki visi permainan paling jelas dan paham bagaimana memainkan sepakbola modern.

Sepakbola adalah permainan kolektivitas, bagaimana kemampuan individu menjadi inferior manakala kemampuan tersebut tidak memberi manfaat bagi kelompoknya. Prinsip sepakbola itu sesungguhnya sederhana. Tidak serumit olahraga lain macam golf, baseball, yang mesti dimainkan oleh orang tertentu dan alat tertentu juga. Belum lagi aturan mengenai poin - poin, saya sendiri kurang paham bagaimana penilaiannya. Di sepakbola, dari rakyat miskin hingga orang parlente semua bisa melakukannya. Hitam, putih, kurus, gemuk, tinggi, pendek boleh. Siapapun. Jadi jangan heran jika kita melihat aksi lempar botol dan petasan seperti yang terjadi di pertandingan malam tadi, karena pada dasarnya siapapun, entah berpendidikan atau tidak, dewasa atau tidak, sepakbola yang begitu sederhana berhak disaksikan siapapun. Di sepakbola, siapa yang mampu mencetak gol lebih banyak dari lawan, dialah pemenangnya. Kita tidak akan melihat bagaimana indahnya permainan suatu tim atau betapa buruknya suatu tim bermain, yang jelas kemenangan adalah suatu nilai yang dianggap istimewa, terlebih bagi tim sepakbola dengan nirgelar seperti Indonesia. Sebuah tim yang bermain di hadapan ribuan pendukungnya lazimnya lebih banyak menguasai jalannya pertandingan, penetrasi ke kotak penalti lawan yang bertubi - tubi dan segala jenis kegagahan lain. Tapi yang saya dan mungkin ribuan pasang mata lain saksikan malam tadi tidak lain adalah hal yang sudah kita hafal dari permainan sepakbola kita: umpan panjang tanpa jelas tujuan dan penyelesaiannya. Begitu dan begitu yang dilakukan pemain kita. Saya tidak menyalahkan pihak manapun, baik Firman yang tampil di bawah performa biasa, atau strategi pelatih Wim Rijsbergen yang tidak berjalan dengan baik, ini semua adalah produk kompetisi lokal yang (maaf) kacrut. Saya ibaratkan korelasi kompetisi, pemain dan pelatih itu bagai petani, hasil tani, dan yang mengolah hasil tani.

Sebaik apapun hasil tani, jika jatuh ke tangan yang tidak handal di bidangnya, maka hasil tani tersebut menjadi hal yang sia - sia. Begitu juga dengan hasil tani, jika tidak diolah secara efektif dan efisien, mustahil akan menjadi sesuatu yang memiliki nilai. Sama halnya dengan petani, kemampuan petani dalam menyeleksi produk mana yang dirasa memiliki nilai lebih dari yang lainnnya menjadi krusial. Kompetisi, pembinaan, sistem yang memadai menjadi hal yang WAJIB diperhatikan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini PSSI sebagai induk sepakbola negeri kita. Tanpa hal tersebut, mustahil kita akan memetik prestasi sepakbola yang selama ini kita rindukan. Sebagai komparasi, Jerman mengalami keterpurukan dengan menjadi juru kunci di Piala Eropa 2000, padahal status mereka saat itu adalah juara bertahan. Jerman diperkuat sejumlah pemain senior, sebut saja Lothar Matthaeus, Thomas Haessler, Markus Babbel yang telah lama menghuni skuad Der Panzer. Sadar akan hal ini, federasi sepakbola Jerman menyadari adanya degradasi yang harus segera dihapus. Mereka merevitalisasi sistem pembinaan pemain muda, kompetisi, keuangan klub, dll. Memang butuh waktu yang agak lama untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, yakni kejayaan sepakbola yang selama ini mereka rindukan. Setidaknya pemain tim nasional Jerman saat ini rata - rata berusia 23 - 24 tahun, bahkan pemain seusia Phillip Lahm (27 tahun) sudah menjadi pemain yang dianggap uzur di timnya. Hasil revolusi dan revitalisasi besar - besaran tersebut kelak akan mereka rasakan, karena sejauh ini mereka telah meraih posisi 3 di Piala Dunia 2006, runner up Piala Eropa 2008, dan semifinalis Piala Dunia 2010, hanya masalah waktu yang akan menjawab kapan Jerman akan meraih gelar demi gelar.

Pemain yang berbakat tidak ubahnya hasil tani dan produk dari sistem kompetisi dan pembinaan yang baik. Tiada mungkin pemain berbakat datangnya jatuh dari langit seperti Mr. Bean. Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Xavi, Andres Iniesta, bisa menjadi seperti sekarang ini karena mereka telah melalui tahapan pembinaan yang baik. Memang tidak semua akan menjadi pemain - pemain tersebut, setidaknya jika federasi sepakbola kita melakukan hal itu, maka kita telah berada di jalur yang benar.

Pelatih adalah muara dari segala proses yang telah dilalui pemain lewat kompetisi yang sudah dijalaninya. Keputusan pemilihan pemain dan taktik yang dapat diterapkan menjadi hal yang harus dikuasai setiap pelatih. Seperti halnya bagaimana kemampuan koki dalam memilih resep masakan yang dapat menghasilkan kuliner yang 'mantap'. Pelatih sekelas Pep Guardiola tahu betul mengapa Barcelona harus menjual Yaya Toure ke Manchester City, karena saat itu Sergio Busquets siap 'mekar' untuk meraih posisi di tim inti Barcelona.

Untuk menghasilkan tim nasional yang mampu berprestasi bukanlah perkara mudah, semudah Bandung Bondowoso membangun Candi Prambanan dalam waktu semalam. Malaysia, Singapura, Thailand, telah jauh lepas landas meninggalkan saudaranya. Tinggal bagaimana perubahan dapat dilakukan demi harapan jutaan penggemar sepakbola di negeri ini. Ya seperti kata @andibachtiar (Andibachtiar Yusuf, sutradara dan orang yang mengaku beragama sepakbola), yang negeri ini miliki adalah harapan dan harapan....